Beri aku teman di surga
Nurma,
begitulah orang-orang memanggilku. Aku hanyalah anak dari seorang petani yang
hidup jauh dari keramaian kota. Hidup dalam kesederhanaan dan tetap bersyukur
atas apa yang aku dapatkan. Keluarga begitu menyayangiku, begitu pun sebaliknya
aku sangat menyayangi keluargaku. Terutama kedua orang tuaku. Mereka sudah
berjuang keras demi aku dan juga adikku. Demi pendidikan yang layak bagi kami.
Aku tahu bagaimana
posisiku dalam keluargaku. Aku adalah anak pertama dari dua bersaudara. Akulah
kelak yang akan menjadi tulang punggung keluarga. Aku ingin sekali
membahagiakan mereka. Aku tak ingin kesulitan dan kesusahan terus menghimpit
kehidupan keluargaku. Aku ingin hidup yang lebih baik. Cita-citaku begitu
besar, demi rasa cintaku pada bapak dan juga ibu.
Tetapi, aku
merasa ada yang kurang dalam hidupku. Aku tahu seberapa besar kemampuanku. Aku
memiliki prestasi yang cukup baik di sekolah. Semua teman-temanku juga
mengetahui itu. Aku menginginkan teman dan sahabat yang mau mengerti aku, mau
berbagi denganku dan berjalan bersama dalam kebaikan. Tetapi, mendapatkan teman
yang baik dan bisa menjadi sahabat sangatlah sulit. Entah apa yang membuat
mereka enggan bergaul lebih dekat denganku.
Aku hanyalah
gadis yang pendiam, dan selalu tidak di anggap keberadaannya. Aku sendiri juga
bingung. Apakah aku hidup untuk menjadi orang yang tak berarti. Aku haus akan
teman dan sahabat yang mau mengerti aku. Tetapi, kemana pun kakiku melangkah,
aku hanya berjalan sendiri tanpa seorang teman. Aku ingin tahu, apa sebenarnya
yang menjadi daya tarik teman, agar ia bisa menjadi sahabatku.
—
Semua temanku
asyik mengobrol bersama. Tak satu pun yang tertarik mengajakku untuk berbicara.
Saat aku duduk di kelas satu SMA, aku tertarik dengan seorang gadis yang pernah
mondok. Aku dan dia sempat terlibat perbincangan yang cukup banyak saat pertama
kali kita berkenalan. Aku ingin sekali ia menjadi sahabat dan temanku. Aku pun
mendekatinya, dan ingin lebih dekat dengannya. Aku pun selalu menemaninya. Aku
berusaha menjadi teman yang setia untuknya. Tetapi, sepertinya kesetiaanku
sia-sia. Aku sering kali diacuhkan dan terkadang di anggap tidak ada. Bahkan,
ia hanya ingat jika ia membutuhkanku.
Aku tak
perduli dengan perlakuan dari teman-temanku. Mereka akan mendekatiku jika
mereka meembutuhkan sesuatu. “Nur, yang ini bagaimana ya mengerjakannya.” Tanya
temanku. “Nur, tugas dari pak Hendra itu bagaimana? Kamu sudah mengerjakan
belum? Kalau sudah besok bawa ya, aku mau lihat. Aku bingung soalnya.” Kata
temanku membujukku. “Nur, besok yang maju presentasi kelompok kita, ya. Aku
tidak tahu, aku moderatornya saja.” Kata temanku.
Aku merasa
senang sekali ketika mereka membutuhkan pertolonganku. Aku merasa diriku
berarti untuk mereka. Tetapi. Aku akan merasa sedih setelah semua itu berakhir.
Semua akan pergi meninggalkan aku dengan gengnya. Kenapa dalam hidup harus ada
kelompok-kelompok seperti itu. Aku ingin mereka mendekatiku. Aku merasa sedih
jika mereka menganggapku berarti saat mereka membutuhkanku saja dan pergi
meninggalkan aku sendiri.
Aku tak pernah
merasa benci dengan sikap mereka. Tapi, kesedihanku amatlah dalam. Aku pergi
kemana-kemana hanya sendiri. “Dik, kamu mau kemana? Kok sendirian saja. Memangnya
teman kamu kemana?” Tanya seorang kakak kelas. “Teman saya lagi ke kantin,
Mbak.” Jawabku. “Kenapa tidak ke kantin? Beli makanan mungkin, kan istirahat.”
Kata kakak kelas yang kenal denganku. “Tidak, Mbak. Sebentar lagi adzan dzuhur,
sekalian mau ke mushola.” Jawabku. “Kalau begitu, mbak ke ruang osis dulu, ya?”
Kakak kelasku itu pun pergi meninggalkanku sendiri. Aku duduk sendiri di kursi
memanjang di depan ruang perpustakaan.
Saat jam
istirahat, teman-temanku entah kemana. Ada yang pergi ke kantin, dan ada yang
mengobrol di teras depan perpustakaan. Entahlah. Kalau pun mereka mengajakku,
mereka akan mengajakku untuk ngobrol di kantin dan melahap makanan yang ada di
sana. Dari mana uang untuk membeli makanan seperti mereka. Aku tak mungkin
bergaya hidup seperti mereka. Aku memilih menyendiri, dan sama sekali tak ada
yang perduli terhadapku.
Aku sangat
bersyukur bisa melanjutkan pendidikan ke universitas impianku. “Kamu harus
bersyukur, Nur. Ibu dan bapak tidak bisa menyekolahkanmu. Tapi, Allah memberi
jalan dari arah yang tidak bisa terduga. Ibu, bapak dan juga kamu harus
bersyukur atas beasiswa yang Allah berikan.” Kata ibu Nurma. “Iya, Bu. Nurma
janji akan belajar dengan tekun untuk membahagiakan Ibu dan juga bapak.” Kataku
dengan mata berkaca-kaca.
Kehidupan
teman-temanku yang mewah membuatku sulit untuk mencari teman dan sahabat.
Mereka memang terlihat biasa dan terkadang terlihat akrab saat mengobrol
denganku. Tapi, aku tahu bahwa aku hanyalah teman biasa bagi mereka. Tak ada
yang istimewa dalam diriku. Aku ingin sekali lebih dekat mengenal mereka, dan
aku ingin hubungan ini ada ikatan batin layaknya seorang kakak dan juga adik.
Aku ingin seseorang yang perduli denganku.
Tapi, aku tak
bisa mengimbangi gaya hidup dan keinginan mereka. Setiap kali aku melihat
temanku liburan bersama-sama, pergi dan makan ke kantin bersama, membeli
pakaian, sepatu dan tas ke toko. Aku tak akan bisa mengimbangi kehidupan
mereka. Seolah-olah, aku bukanlah bagian dari mereka. Aku sadar siapa diriku.
Aku juga tahu bahwa mereka tak meninggalkan dan mengacuhkan aku dalam
pertemanan. Tetapi, jauh di lubuk hatiku, aku sangat merindukan mereka, aku
sangat menginginkan dekat dengan mereka, aku ingin sedikit perhatian dari
mereka.
Aku aktif
dalam kegiatan tulis menulis di koran. Sejumlah artikel yang kubuat sering
terpampang di koran. Dosen, teman-teman dan juga karyawan kampus sering membaca
artikelku. “Nur, artikel kamu kemarin di muat di koran. Wah.., bagus.” Puji
temanku. “Terima kasih, ya”. Jawabku. “Nur, Ibu Sita kemarin baca artikel kamu
di koran. Terus tingkatkan kemampuanmu, ibu yakin suatu saat kamu akan menjadi
orang yang sukses.” Kata Bu Sita. Semua teman-temanku bertepuk tangan. Aku
hanya tersenyum sekedarnya. Karena aku tahu, setelah ini aku akan terlihat
seperti sosok yang biasa di mata teman-temanku.
Aku memang
anak yang memiliki banyak prestasi. Tapi, aku ingin sekali memiliki prestasi
dalam mencari teman. Kemana aku harus mencari mereka. Tak ada artinya apa yang
selama ini aku dapatkan, jika aku hanya berjalan sendiri tanpa seorang teman
dan sahabat. Aku sering pergi ke perpustakaan sendiri, membaca dan menulis
artikel. Tak ada teman ataupun sahabat yang menemaniku. Ingin seekali ada
seseorang yang memberiku motivasi dan memberi saran mengenai artikelku.
Kerinduanku kepada
seorang sahabat sangatlah besar. “Ya, Allah. Aku menginginkan seorang sahabat.
Seseorang yang mau mengerti diriku, membimbingku dan mengerti hidup dan
keinginanku. Aku akan melakukan apa pun demi kebahagiannya. Aku akan selalu
menjaganya. Berikan aku teman di surga kelak Ya Allah. Aku sangat
merindukannya. Biarkanlah semua orang menjauhiku dan tak ingin dekat denganku.
Tapi, satu permintaanku. Beri aku seorang teman dan sahabat kelak di surga.”
Pintaku.
“Saya dan Kak
Ema kebetulan adalah satu prodi, satu kelas dan satu kamar kos. Jadi, kita
keman-kemana bareng-bareng. Ikut organisasi sama-sama, belajar sama-sama dan
saling membantu. Pokoknya, kita selalu memberi motivasi satu sama lain. Enak
pokoknya kalau sama sahabat. Sudah kayak saudara sendiri. Iya kan Mbak Ema?”
Tanya Mbak Siti pada sahabatnya. “Iya, Mbak Siti. Dengan sahabat kita harus
saling memberi motivasi. Saling pengertian, dan saling memahami.” Kata Mbak
Ema.
Saat aku
mendengar sambutan acara outbond dari Mbak Ema dan Mbak Siti, ingin sekali aku
seperti mereka berdua. Mempunyai sahabat yang pengertian dan baik. Aku begitu
merindukannya. Kenapa setiap langkahku seolah di tentang oleh mereka. Kenapa
mereka tidak memberi semangat dan motivasi pada diriku. “Sya, semester tiga
ikut organisasi, yuk” Ajakku. “Nggak, ah. Nilaiku saja masih pas-pasan. Lagian
aku juga masih mengulang satu mata kuliah. Nanti kuliahku malah keteteran.”
Jawabnya.
Setiap kali
aku menginginkan sesuatu, sepertinya mereka enggan untuk mengiyakan. Padahal
aku tak mengajak mereka untuk berbuat jahat. Aku ingin teman dalam kebersamaan,
teman yang memberiku semangat. Teman yang selalu ada untukku. Andaikan mereka
mau berteman dan bersahabat denganku, aku akan mencurahkan semuanya untuk
mereka.
Aku sangat
rindu sekali akan sosok sahabat dalam hidupku. Ketika aku melihat dua perempuan
belajar bersama, saling membantu dalam kesulitan, dan saling memberi motivasi
satu sama lain. Ingin sekali aku seperti mereka. Aku berharap, suatu saat Allah
akan mengirimkan seseorang untukku. Seseorang yang akan menjadi sahabatku.
Meskipun aku harus mati terlebih dahulu, aku ingin bertemu dengan mereka. Beri
aku teman di surga Ya Allah. Aku sangat merindukannya.” Kataku menitikkan air
mata.
Selesai
Cerpen
Karangan: Choirul Imroatin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar