Powered By Blogger

Rabu, 03 Juli 2013

Beri aku teman di surga



Beri aku teman di surga
Nurma, begitulah orang-orang memanggilku. Aku hanyalah anak dari seorang petani yang hidup jauh dari keramaian kota. Hidup dalam kesederhanaan dan tetap bersyukur atas apa yang aku dapatkan. Keluarga begitu menyayangiku, begitu pun sebaliknya aku sangat menyayangi keluargaku. Terutama kedua orang tuaku. Mereka sudah berjuang keras demi aku dan juga adikku. Demi pendidikan yang layak bagi kami.
Aku tahu bagaimana posisiku dalam keluargaku. Aku adalah anak pertama dari dua bersaudara. Akulah kelak yang akan menjadi tulang punggung keluarga. Aku ingin sekali membahagiakan mereka. Aku tak ingin kesulitan dan kesusahan terus menghimpit kehidupan keluargaku. Aku ingin hidup yang lebih baik. Cita-citaku begitu besar, demi rasa cintaku pada bapak dan juga ibu.
Tetapi, aku merasa ada yang kurang dalam hidupku. Aku tahu seberapa besar kemampuanku. Aku memiliki prestasi yang cukup baik di sekolah. Semua teman-temanku juga mengetahui itu. Aku menginginkan teman dan sahabat yang mau mengerti aku, mau berbagi denganku dan berjalan bersama dalam kebaikan. Tetapi, mendapatkan teman yang baik dan bisa menjadi sahabat sangatlah sulit. Entah apa yang membuat mereka enggan bergaul lebih dekat denganku.
Aku hanyalah gadis yang pendiam, dan selalu tidak di anggap keberadaannya. Aku sendiri juga bingung. Apakah aku hidup untuk menjadi orang yang tak berarti. Aku haus akan teman dan sahabat yang mau mengerti aku. Tetapi, kemana pun kakiku melangkah, aku hanya berjalan sendiri tanpa seorang teman. Aku ingin tahu, apa sebenarnya yang menjadi daya tarik teman, agar ia bisa menjadi sahabatku.
Semua temanku asyik mengobrol bersama. Tak satu pun yang tertarik mengajakku untuk berbicara. Saat aku duduk di kelas satu SMA, aku tertarik dengan seorang gadis yang pernah mondok. Aku dan dia sempat terlibat perbincangan yang cukup banyak saat pertama kali kita berkenalan. Aku ingin sekali ia menjadi sahabat dan temanku. Aku pun mendekatinya, dan ingin lebih dekat dengannya. Aku pun selalu menemaninya. Aku berusaha menjadi teman yang setia untuknya. Tetapi, sepertinya kesetiaanku sia-sia. Aku sering kali diacuhkan dan terkadang di anggap tidak ada. Bahkan, ia hanya ingat jika ia membutuhkanku.
Aku tak perduli dengan perlakuan dari teman-temanku. Mereka akan mendekatiku jika mereka meembutuhkan sesuatu. “Nur, yang ini bagaimana ya mengerjakannya.” Tanya temanku. “Nur, tugas dari pak Hendra itu bagaimana? Kamu sudah mengerjakan belum? Kalau sudah besok bawa ya, aku mau lihat. Aku bingung soalnya.” Kata temanku membujukku. “Nur, besok yang maju presentasi kelompok kita, ya. Aku tidak tahu, aku moderatornya saja.” Kata temanku.
Aku merasa senang sekali ketika mereka membutuhkan pertolonganku. Aku merasa diriku berarti untuk mereka. Tetapi. Aku akan merasa sedih setelah semua itu berakhir. Semua akan pergi meninggalkan aku dengan gengnya. Kenapa dalam hidup harus ada kelompok-kelompok seperti itu. Aku ingin mereka mendekatiku. Aku merasa sedih jika mereka menganggapku berarti saat mereka membutuhkanku saja dan pergi meninggalkan aku sendiri.
Aku tak pernah merasa benci dengan sikap mereka. Tapi, kesedihanku amatlah dalam. Aku pergi kemana-kemana hanya sendiri. “Dik, kamu mau kemana? Kok sendirian saja. Memangnya teman kamu kemana?” Tanya seorang kakak kelas. “Teman saya lagi ke kantin, Mbak.” Jawabku. “Kenapa tidak ke kantin? Beli makanan mungkin, kan istirahat.” Kata kakak kelas yang kenal denganku. “Tidak, Mbak. Sebentar lagi adzan dzuhur, sekalian mau ke mushola.” Jawabku. “Kalau begitu, mbak ke ruang osis dulu, ya?” Kakak kelasku itu pun pergi meninggalkanku sendiri. Aku duduk sendiri di kursi memanjang di depan ruang perpustakaan.
Saat jam istirahat, teman-temanku entah kemana. Ada yang pergi ke kantin, dan ada yang mengobrol di teras depan perpustakaan. Entahlah. Kalau pun mereka mengajakku, mereka akan mengajakku untuk ngobrol di kantin dan melahap makanan yang ada di sana. Dari mana uang untuk membeli makanan seperti mereka. Aku tak mungkin bergaya hidup seperti mereka. Aku memilih menyendiri, dan sama sekali tak ada yang perduli terhadapku.
Aku sangat bersyukur bisa melanjutkan pendidikan ke universitas impianku. “Kamu harus bersyukur, Nur. Ibu dan bapak tidak bisa menyekolahkanmu. Tapi, Allah memberi jalan dari arah yang tidak bisa terduga. Ibu, bapak dan juga kamu harus bersyukur atas beasiswa yang Allah berikan.” Kata ibu Nurma. “Iya, Bu. Nurma janji akan belajar dengan tekun untuk membahagiakan Ibu dan juga bapak.” Kataku dengan mata berkaca-kaca.
Kehidupan teman-temanku yang mewah membuatku sulit untuk mencari teman dan sahabat. Mereka memang terlihat biasa dan terkadang terlihat akrab saat mengobrol denganku. Tapi, aku tahu bahwa aku hanyalah teman biasa bagi mereka. Tak ada yang istimewa dalam diriku. Aku ingin sekali lebih dekat mengenal mereka, dan aku ingin hubungan ini ada ikatan batin layaknya seorang kakak dan juga adik. Aku ingin seseorang yang perduli denganku.
Tapi, aku tak bisa mengimbangi gaya hidup dan keinginan mereka. Setiap kali aku melihat temanku liburan bersama-sama, pergi dan makan ke kantin bersama, membeli pakaian, sepatu dan tas ke toko. Aku tak akan bisa mengimbangi kehidupan mereka. Seolah-olah, aku bukanlah bagian dari mereka. Aku sadar siapa diriku. Aku juga tahu bahwa mereka tak meninggalkan dan mengacuhkan aku dalam pertemanan. Tetapi, jauh di lubuk hatiku, aku sangat merindukan mereka, aku sangat menginginkan dekat dengan mereka, aku ingin sedikit perhatian dari mereka.
Aku aktif dalam kegiatan tulis menulis di koran. Sejumlah artikel yang kubuat sering terpampang di koran. Dosen, teman-teman dan juga karyawan kampus sering membaca artikelku. “Nur, artikel kamu kemarin di muat di koran. Wah.., bagus.” Puji temanku. “Terima kasih, ya”. Jawabku. “Nur, Ibu Sita kemarin baca artikel kamu di koran. Terus tingkatkan kemampuanmu, ibu yakin suatu saat kamu akan menjadi orang yang sukses.” Kata Bu Sita. Semua teman-temanku bertepuk tangan. Aku hanya tersenyum sekedarnya. Karena aku tahu, setelah ini aku akan terlihat seperti sosok yang biasa di mata teman-temanku.
Aku memang anak yang memiliki banyak prestasi. Tapi, aku ingin sekali memiliki prestasi dalam mencari teman. Kemana aku harus mencari mereka. Tak ada artinya apa yang selama ini aku dapatkan, jika aku hanya berjalan sendiri tanpa seorang teman dan sahabat. Aku sering pergi ke perpustakaan sendiri, membaca dan menulis artikel. Tak ada teman ataupun sahabat yang menemaniku. Ingin seekali ada seseorang yang memberiku motivasi dan memberi saran mengenai artikelku.
Kerinduanku kepada seorang sahabat sangatlah besar. “Ya, Allah. Aku menginginkan seorang sahabat. Seseorang yang mau mengerti diriku, membimbingku dan mengerti hidup dan keinginanku. Aku akan melakukan apa pun demi kebahagiannya. Aku akan selalu menjaganya. Berikan aku teman di surga kelak Ya Allah. Aku sangat merindukannya. Biarkanlah semua orang menjauhiku dan tak ingin dekat denganku. Tapi, satu permintaanku. Beri aku seorang teman dan sahabat kelak di surga.” Pintaku.
“Saya dan Kak Ema kebetulan adalah satu prodi, satu kelas dan satu kamar kos. Jadi, kita keman-kemana bareng-bareng. Ikut organisasi sama-sama, belajar sama-sama dan saling membantu. Pokoknya, kita selalu memberi motivasi satu sama lain. Enak pokoknya kalau sama sahabat. Sudah kayak saudara sendiri. Iya kan Mbak Ema?” Tanya Mbak Siti pada sahabatnya. “Iya, Mbak Siti. Dengan sahabat kita harus saling memberi motivasi. Saling pengertian, dan saling memahami.” Kata Mbak Ema.
Saat aku mendengar sambutan acara outbond dari Mbak Ema dan Mbak Siti, ingin sekali aku seperti mereka berdua. Mempunyai sahabat yang pengertian dan baik. Aku begitu merindukannya. Kenapa setiap langkahku seolah di tentang oleh mereka. Kenapa mereka tidak memberi semangat dan motivasi pada diriku. “Sya, semester tiga ikut organisasi, yuk” Ajakku. “Nggak, ah. Nilaiku saja masih pas-pasan. Lagian aku juga masih mengulang satu mata kuliah. Nanti kuliahku malah keteteran.” Jawabnya.
Setiap kali aku menginginkan sesuatu, sepertinya mereka enggan untuk mengiyakan. Padahal aku tak mengajak mereka untuk berbuat jahat. Aku ingin teman dalam kebersamaan, teman yang memberiku semangat. Teman yang selalu ada untukku. Andaikan mereka mau berteman dan bersahabat denganku, aku akan mencurahkan semuanya untuk mereka.
Aku sangat rindu sekali akan sosok sahabat dalam hidupku. Ketika aku melihat dua perempuan belajar bersama, saling membantu dalam kesulitan, dan saling memberi motivasi satu sama lain. Ingin sekali aku seperti mereka. Aku berharap, suatu saat Allah akan mengirimkan seseorang untukku. Seseorang yang akan menjadi sahabatku. Meskipun aku harus mati terlebih dahulu, aku ingin bertemu dengan mereka. Beri aku teman di surga Ya Allah. Aku sangat merindukannya.” Kataku menitikkan air mata.
Selesai
Cerpen Karangan: Choirul Imroatin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar