Menari di langit senja
Enam anak itu
sudah terduduk di sebuah batu yang amat besar. Senyum cerahnya mengembang
ketika melihat langit yang berwarna biru indah. Yusi, Tipa, Uti, Sipa, Inge dan
Fira. Mereka sekelompok cewek polos dan pintar akan merangkai kata. Saat itu,
mereka sedang menikmati segarnya udara di pagi hari dan melihat desiran air sungai
yang mengalir.
Setelah
menghadapi ujian akhir semester, pikiran menjadi santai dan rileks tanpa beban.
Itulah yang saat ini mereka pikirkan. Berlibur di desa adalah salah satu tempat
yang cocok untuk menenangkan pikiran sehabis otak kebakar selama seminggu.
“Coba deh,
lihat awan itu!” tunjuk Uti. Semua menoleh ke arah yang di maksud.
“Mana? Bagusnya, gambar hati!” pekik Inge yang membuat Sipa terpeleset ke dalam sungai. Sontak semua tertawa dan Sipa hanya manyun.
“Mana? Bagusnya, gambar hati!” pekik Inge yang membuat Sipa terpeleset ke dalam sungai. Sontak semua tertawa dan Sipa hanya manyun.
Tipa dan Yusi
meraih tangannya untuk kembali ke atas batu. Tetapi, Sipa malah menarik kedua
anak tersebut dan ikut kecebur ke sungai yang dingin banget airnya. Fira yang
sedang tertawa lebar itu, langsung di dorong oleh Inge, tapi Inge malah kena
batunya dan mereka sama-sama ikut tercebur. Uti yang selamat dari aksi tarik
dan di dorong, akhirnya menyerah juga karena di paksa oleh kelima cewek itu.
Semuanya pun
masuk ke dalam sungai itu dengan penuh canda dan tawa. Terik matahari mulai
semakin panas dan air sungai tidak sedingin pagi hari. Ke enam cewek itu
menyudahinya dan beranjak pergi ke rumah sederhana milik paman Fira yang
bernama Pak Anto itu. Mereka berlibur ke sini karena Pak Anto membolehinya.
Lagi pula Fira
juga baru dua kali ke desa Pak Anto, itu pun bersama keluarga. Makannya supaya
suasananya lebih seru kali ini, Fira mengajak ke lima sahabatnya itu.
Sesampainya di rumah pak Anto. Mereka mengganti pakain yang basah dengan pakain
yang bersih dan wangi. Mereka di kejutkan dengan kehadiran istri pak Anto, bi
Ana. Ternyata sejak tadi, bi Ana nggak kelihatan karena sebelum keenam cewek
itu bangun, beliau telah siap menjajakan sayur mayurnya di pasar.
Bi Ana juga
telah mempersiapkan makanan tradisional yang nggak kalah enaknya dari kota.
Tempe, tahu, sambel goreng, ikan goreng, aneka lalapan dan es kelapa muda.
Pokoknya enak deh! Setelah selesai makan siang, ke enam cewek itu beristirahat
dulu di belakang teras rumah pak Anto. Selain udaranya yang tak begitu panas,
di sini juga banyak di tumbuhi tanaman dan pohon rambutan.
Mankannya
kalau mau rambutan, tinggal memetik aja deh buahnya. Uti melihat sesuatu di
balik semak belukar itu. Sepertinya ada hewan yang menyangkut atau hantu yang
ingin mengganggu.
“Hati-hati!
Itu binatang buas seperti babi hutan yang sedang mencari makan!” kata Sipa
menakut-nakuti.
“Mana ada sih di desa ada babi hutan? Memangnya kita ada di hutan gitu,” celoteh Inge bersikap untuk tidak takut.
“Kalau di pikir-pikir, di sini nggak ada babi hutan deh. Karena di wilayah ini terjamin keamanannya,” ucap Fira yang pintar akan pelajaran IPS.
“Bener juga kamu Fir, nggak sia-sia aku beri kamu sebutan si Smart girl,” ujar Yusi sembari merangkul sahabatnya itu. Sementara Tipa dan Uti hanya manggut-manggut saja.
“Daripada kita penasaran hewan apa itu! Mending kita dekati yuk,” ajak Tipa tampang bersemangat. Dengan semangat 45 Tipa bersiap meluncur ke semak yang di maksud.
“Tunggu apa lagi, ayo!” Uti berlari mengejar Tipa yang telah melesat jauh. Semuanya mengangguk dan berlari mengejar Uti.
“Mana ada sih di desa ada babi hutan? Memangnya kita ada di hutan gitu,” celoteh Inge bersikap untuk tidak takut.
“Kalau di pikir-pikir, di sini nggak ada babi hutan deh. Karena di wilayah ini terjamin keamanannya,” ucap Fira yang pintar akan pelajaran IPS.
“Bener juga kamu Fir, nggak sia-sia aku beri kamu sebutan si Smart girl,” ujar Yusi sembari merangkul sahabatnya itu. Sementara Tipa dan Uti hanya manggut-manggut saja.
“Daripada kita penasaran hewan apa itu! Mending kita dekati yuk,” ajak Tipa tampang bersemangat. Dengan semangat 45 Tipa bersiap meluncur ke semak yang di maksud.
“Tunggu apa lagi, ayo!” Uti berlari mengejar Tipa yang telah melesat jauh. Semuanya mengangguk dan berlari mengejar Uti.
Perasan dag..
dig.. dug mulai menjadi-jadi. Keringat dingin mulai menggerayangi Sipa. Karena
kalau di temuinya adalah kucing, ia pasti lari terbirit-birit. Tapi menurut
Tipa, kucing adalah hewan yang menggemaskan dan asik di ajak main. Kalau saja
itu kucing, pasti Tipa langsung menggendongnya. Tangan Yusi mulai mendekati
semak tersebut.
Semuanya
terdiam dan keadaan hening. Perlahan-lahan tangan Yusi telah mencapai puncak
kedalaman semak tersebut. Ketika di telusuri lebih dalam ternyata … seekor
kelinci putih berbulu lebat itu tersangkut benang layang-layang. Yusi segera
melepaskan dan menggendongnya. Lucunya! Semua mengelus badan sang kelinci.
Lembut di tangan.
Mereka segera
membawanya ke rumah dan langsung di beri makan. Tetapi sebelum di beri makan
kita kasih nama apa ya? Kelincinya kan laki-laki.
“Kasih nama
apa nih?” Yusi melirik sahabat-sahabatnya.
“Yang lucu aja namanya!” usul Inge mulai membayangkan sederet nama-nama di benaknya.
“Pofu,” Uti melirik yang lain. Semua hanya menggeleng.
“Goro!” usul Inge. Semua masih menggeleng.
“Hmm, kalau Ponta gimana? Menurutku itu nama yang unik dan lucu,” kataku menoleh ke semuanya. Tipa salah satu anggota yang suka baca komik.
“Kayaknya bagus deh, setuju ga?” tanya Fira.
“Setuju!” jawab semuanya dengan serentak.
“Yang lucu aja namanya!” usul Inge mulai membayangkan sederet nama-nama di benaknya.
“Pofu,” Uti melirik yang lain. Semua hanya menggeleng.
“Goro!” usul Inge. Semua masih menggeleng.
“Hmm, kalau Ponta gimana? Menurutku itu nama yang unik dan lucu,” kataku menoleh ke semuanya. Tipa salah satu anggota yang suka baca komik.
“Kayaknya bagus deh, setuju ga?” tanya Fira.
“Setuju!” jawab semuanya dengan serentak.
Akhirnya
pemberian nama kelinci tersebut tidak memakan waktu yang sangat lama. Setelah
itu Ponta di beri makan dan di taruh di kandang milik Pak Anto, bekas kandang
kelincinya yang sudah mati. Setelah itu, mereka pamitan untuk jalan-jalan di
sebuah bukit. Kalau matahari sudah condong ke arah barat, pemandangan di langit
akan menjadi luar biasa indahnya.
Di perjalanan
menuju bukit …
“Eh, main
tebak-tebakan yuk!” celetuk Sipa.
“Ayo! Tapi kamu yang bikin tebak-tebakan ya,” ucap Uti.
“Kita mulai saja ya. Ada banjir deras banget mencapai selutut tetapi gedung tingkat tiga kok bisa terendam?” tanya Sipa.
“Apaan ya? Susah banget sih,” keluh Uti.
“Banjir … cuman selutut … tetapi bisa merendam gedung? Bingung,” Inge mulai memutar otak.
“Nyerah?” Sipa mulai meremehkan. Ada senyum kemenangan di bibir manisnya.
“Iya deh, nggak tau.” Fira mulai pasrah.
“Kalau banjirnya mencapai selutut patung liberty di USA gimana?” sambung Sipa sambil merubah mimik wajahnya.
“Haha, kamu bisa aja deh!” tawa Yusi meledak.
“Iya dong, Sipa gitu lho.”
“Yaiyalah, kamu itu ratunya tebak-tebakan. Semua orang kan punya keahlian masing-masing,” sergah Tipa.
“Ayo! Tapi kamu yang bikin tebak-tebakan ya,” ucap Uti.
“Kita mulai saja ya. Ada banjir deras banget mencapai selutut tetapi gedung tingkat tiga kok bisa terendam?” tanya Sipa.
“Apaan ya? Susah banget sih,” keluh Uti.
“Banjir … cuman selutut … tetapi bisa merendam gedung? Bingung,” Inge mulai memutar otak.
“Nyerah?” Sipa mulai meremehkan. Ada senyum kemenangan di bibir manisnya.
“Iya deh, nggak tau.” Fira mulai pasrah.
“Kalau banjirnya mencapai selutut patung liberty di USA gimana?” sambung Sipa sambil merubah mimik wajahnya.
“Haha, kamu bisa aja deh!” tawa Yusi meledak.
“Iya dong, Sipa gitu lho.”
“Yaiyalah, kamu itu ratunya tebak-tebakan. Semua orang kan punya keahlian masing-masing,” sergah Tipa.
Percakapan
terhenti ketika sudah sampai di bukit. Pemandangan yang belum pernah mereka
lihat di sini, membuat hati kecil mereka masing-masing berbicara. Indahnya
bukan main. Kabut-kabut putih menyelimuti sekeliling bukit. Pepohonan yang
menjulang tinggi seakan-akan ikut memeriahkan suasana bukit itu.
Semuanya hanya
ternganga dan pandangan lurus ke depan. Apalagi nanti ketika matahari
tenggelam, suasana akan lebih indah luar biasa.
“Kita harus
menunggu matahari itu sampai pada tempatnya,” terang Fira yang sudah tau
banyak.
“Cantik ..,” desis Yusi pelan.
“Cantik ..,” desis Yusi pelan.
Pantulan sinar
matahari menghiasi mata ke enam cewek itu. Bola-bola mata cerah berbinar terus
memandang ke arah yang dimaksud. Mata Tipa terpejam, mendengarkan hati kecilnya
sedang berbicara sendiri, “Sangat indah … sebuah pemandangan alam yang langka …
Seperti butiran-butiran mutiara yang bening … sangat indah,”
“Beberapa
menit lagi ..,” sambung Fira.
Tiga puluh
menit berlalu, matahari mulai tepat di posisinya. 1 … 2 … 3 … siap-siap! Ke
enam anak manusia itu sedang menghitung. “Dan … tibalah saatnya,” guman Uti.
Keajaiban mulai tiba di setiap sudutnya. Langit senja … langit senja … sangat
indah. Warna oranye ke merah-merahan di langit seakan-akan ikut berbicara.
Tidak ada yang
lebih indah selain ciptaan Tuhan. Tuhan telah memberikan banyak nikmat kepada
kita untuk selalu bersyukur dan berpikir. Bagaimana cara mengolahnya supaya
lebih baik dari itu tetapi tidak merubah bentuk aslinya. Ke enam cewek itu menyadarinya
bahwa masih ada tempat indah yang di berikan Tuhan.
Untuk
mengakhiri di langit senja ini. Mereka menari di iringi alunan musik alam.
Angin, daun dan air. Ketiga elemen yang berbeda tetapi memiliki tujuan yang
sama. Mengisi hidup ini dengan sempurna. Alam adalah sesuatu kewajiban yang
harus kita jaga … bukan di rusak seenaknya. Di dunia ini kita tidak sendirian
melainkan hidup bersama-sama … dan membutuhkan satu sama lain.
Akhirnya
mereka pulang dan untuk terakhir kalinya, mereka berjanji … “Kami akan selalu
menjaga alam … Dan akan selalu menikmati indahnya alam,” teriak mereka
masing-masing. Life is nature.
Cerpen
Karangan: Tifa Raisandra
Facebook: Tifa Raisandra
Facebook: Tifa Raisandra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar