Powered By Blogger

Rabu, 03 Juli 2013

Menari di langit senja


Menari di langit senja
Enam anak itu sudah terduduk di sebuah batu yang amat besar. Senyum cerahnya mengembang ketika melihat langit yang berwarna biru indah. Yusi, Tipa, Uti, Sipa, Inge dan Fira. Mereka sekelompok cewek polos dan pintar akan merangkai kata. Saat itu, mereka sedang menikmati segarnya udara di pagi hari dan melihat desiran air sungai yang mengalir.
Setelah menghadapi ujian akhir semester, pikiran menjadi santai dan rileks tanpa beban. Itulah yang saat ini mereka pikirkan. Berlibur di desa adalah salah satu tempat yang cocok untuk menenangkan pikiran sehabis otak kebakar selama seminggu.
“Coba deh, lihat awan itu!” tunjuk Uti. Semua menoleh ke arah yang di maksud.
“Mana? Bagusnya, gambar hati!” pekik Inge yang membuat Sipa terpeleset ke dalam sungai. Sontak semua tertawa dan Sipa hanya manyun.
Tipa dan Yusi meraih tangannya untuk kembali ke atas batu. Tetapi, Sipa malah menarik kedua anak tersebut dan ikut kecebur ke sungai yang dingin banget airnya. Fira yang sedang tertawa lebar itu, langsung di dorong oleh Inge, tapi Inge malah kena batunya dan mereka sama-sama ikut tercebur. Uti yang selamat dari aksi tarik dan di dorong, akhirnya menyerah juga karena di paksa oleh kelima cewek itu.
Semuanya pun masuk ke dalam sungai itu dengan penuh canda dan tawa. Terik matahari mulai semakin panas dan air sungai tidak sedingin pagi hari. Ke enam cewek itu menyudahinya dan beranjak pergi ke rumah sederhana milik paman Fira yang bernama Pak Anto itu. Mereka berlibur ke sini karena Pak Anto membolehinya.
Lagi pula Fira juga baru dua kali ke desa Pak Anto, itu pun bersama keluarga. Makannya supaya suasananya lebih seru kali ini, Fira mengajak ke lima sahabatnya itu. Sesampainya di rumah pak Anto. Mereka mengganti pakain yang basah dengan pakain yang bersih dan wangi. Mereka di kejutkan dengan kehadiran istri pak Anto, bi Ana. Ternyata sejak tadi, bi Ana nggak kelihatan karena sebelum keenam cewek itu bangun, beliau telah siap menjajakan sayur mayurnya di pasar.
Bi Ana juga telah mempersiapkan makanan tradisional yang nggak kalah enaknya dari kota. Tempe, tahu, sambel goreng, ikan goreng, aneka lalapan dan es kelapa muda. Pokoknya enak deh! Setelah selesai makan siang, ke enam cewek itu beristirahat dulu di belakang teras rumah pak Anto. Selain udaranya yang tak begitu panas, di sini juga banyak di tumbuhi tanaman dan pohon rambutan.
Mankannya kalau mau rambutan, tinggal memetik aja deh buahnya. Uti melihat sesuatu di balik semak belukar itu. Sepertinya ada hewan yang menyangkut atau hantu yang ingin mengganggu.
“Hati-hati! Itu binatang buas seperti babi hutan yang sedang mencari makan!” kata Sipa menakut-nakuti.
“Mana ada sih di desa ada babi hutan? Memangnya kita ada di hutan gitu,” celoteh Inge bersikap untuk tidak takut.
“Kalau di pikir-pikir, di sini nggak ada babi hutan deh. Karena di wilayah ini terjamin keamanannya,” ucap Fira yang pintar akan pelajaran IPS.
“Bener juga kamu Fir, nggak sia-sia aku beri kamu sebutan si Smart girl,” ujar Yusi sembari merangkul sahabatnya itu. Sementara Tipa dan Uti hanya manggut-manggut saja.
“Daripada kita penasaran hewan apa itu! Mending kita dekati yuk,” ajak Tipa tampang bersemangat. Dengan semangat 45 Tipa bersiap meluncur ke semak yang di maksud.
“Tunggu apa lagi, ayo!” Uti berlari mengejar Tipa yang telah melesat jauh. Semuanya mengangguk dan berlari mengejar Uti.
Perasan dag.. dig.. dug mulai menjadi-jadi. Keringat dingin mulai menggerayangi Sipa. Karena kalau di temuinya adalah kucing, ia pasti lari terbirit-birit. Tapi menurut Tipa, kucing adalah hewan yang menggemaskan dan asik di ajak main. Kalau saja itu kucing, pasti Tipa langsung menggendongnya. Tangan Yusi mulai mendekati semak tersebut.
Semuanya terdiam dan keadaan hening. Perlahan-lahan tangan Yusi telah mencapai puncak kedalaman semak tersebut. Ketika di telusuri lebih dalam ternyata … seekor kelinci putih berbulu lebat itu tersangkut benang layang-layang. Yusi segera melepaskan dan menggendongnya. Lucunya! Semua mengelus badan sang kelinci. Lembut di tangan.
Mereka segera membawanya ke rumah dan langsung di beri makan. Tetapi sebelum di beri makan kita kasih nama apa ya? Kelincinya kan laki-laki.
“Kasih nama apa nih?” Yusi melirik sahabat-sahabatnya.
“Yang lucu aja namanya!” usul Inge mulai membayangkan sederet nama-nama di benaknya.
“Pofu,” Uti melirik yang lain. Semua hanya menggeleng.
“Goro!” usul Inge. Semua masih menggeleng.
“Hmm, kalau Ponta gimana? Menurutku itu nama yang unik dan lucu,” kataku menoleh ke semuanya. Tipa salah satu anggota yang suka baca komik.
“Kayaknya bagus deh, setuju ga?” tanya Fira.
“Setuju!” jawab semuanya dengan serentak.
Akhirnya pemberian nama kelinci tersebut tidak memakan waktu yang sangat lama. Setelah itu Ponta di beri makan dan di taruh di kandang milik Pak Anto, bekas kandang kelincinya yang sudah mati. Setelah itu, mereka pamitan untuk jalan-jalan di sebuah bukit. Kalau matahari sudah condong ke arah barat, pemandangan di langit akan menjadi luar biasa indahnya.
Di perjalanan menuju bukit …
“Eh, main tebak-tebakan yuk!” celetuk Sipa.
“Ayo! Tapi kamu yang bikin tebak-tebakan ya,” ucap Uti.
“Kita mulai saja ya. Ada banjir deras banget mencapai selutut tetapi gedung tingkat tiga kok bisa terendam?” tanya Sipa.
“Apaan ya? Susah banget sih,” keluh Uti.
“Banjir … cuman selutut … tetapi bisa merendam gedung? Bingung,” Inge mulai memutar otak.
“Nyerah?” Sipa mulai meremehkan. Ada senyum kemenangan di bibir manisnya.
“Iya deh, nggak tau.” Fira mulai pasrah.
“Kalau banjirnya mencapai selutut patung liberty di USA gimana?” sambung Sipa sambil merubah mimik wajahnya.
“Haha, kamu bisa aja deh!” tawa Yusi meledak.
“Iya dong, Sipa gitu lho.”
“Yaiyalah, kamu itu ratunya tebak-tebakan. Semua orang kan punya keahlian masing-masing,” sergah Tipa.
Percakapan terhenti ketika sudah sampai di bukit. Pemandangan yang belum pernah mereka lihat di sini, membuat hati kecil mereka masing-masing berbicara. Indahnya bukan main. Kabut-kabut putih menyelimuti sekeliling bukit. Pepohonan yang menjulang tinggi seakan-akan ikut memeriahkan suasana bukit itu.
Semuanya hanya ternganga dan pandangan lurus ke depan. Apalagi nanti ketika matahari tenggelam, suasana akan lebih indah luar biasa.
“Kita harus menunggu matahari itu sampai pada tempatnya,” terang Fira yang sudah tau banyak.
“Cantik ..,” desis Yusi pelan.
Pantulan sinar matahari menghiasi mata ke enam cewek itu. Bola-bola mata cerah berbinar terus memandang ke arah yang dimaksud. Mata Tipa terpejam, mendengarkan hati kecilnya sedang berbicara sendiri, “Sangat indah … sebuah pemandangan alam yang langka … Seperti butiran-butiran mutiara yang bening … sangat indah,”
“Beberapa menit lagi ..,” sambung Fira.
Tiga puluh menit berlalu, matahari mulai tepat di posisinya. 1 … 2 … 3 … siap-siap! Ke enam anak manusia itu sedang menghitung. “Dan … tibalah saatnya,” guman Uti. Keajaiban mulai tiba di setiap sudutnya. Langit senja … langit senja … sangat indah. Warna oranye ke merah-merahan di langit seakan-akan ikut berbicara.
Tidak ada yang lebih indah selain ciptaan Tuhan. Tuhan telah memberikan banyak nikmat kepada kita untuk selalu bersyukur dan berpikir. Bagaimana cara mengolahnya supaya lebih baik dari itu tetapi tidak merubah bentuk aslinya. Ke enam cewek itu menyadarinya bahwa masih ada tempat indah yang di berikan Tuhan.
Untuk mengakhiri di langit senja ini. Mereka menari di iringi alunan musik alam. Angin, daun dan air. Ketiga elemen yang berbeda tetapi memiliki tujuan yang sama. Mengisi hidup ini dengan sempurna. Alam adalah sesuatu kewajiban yang harus kita jaga … bukan di rusak seenaknya. Di dunia ini kita tidak sendirian melainkan hidup bersama-sama … dan membutuhkan satu sama lain.
Akhirnya mereka pulang dan untuk terakhir kalinya, mereka berjanji … “Kami akan selalu menjaga alam … Dan akan selalu menikmati indahnya alam,” teriak mereka masing-masing. Life is nature.
Cerpen Karangan: Tifa Raisandra
Facebook: Tifa Raisandra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar