Powered By Blogger

Rabu, 03 Juli 2013

Kenangan seutas pita



Kenangan seutas pita
Kupandang seutas pita merah yang kini mengingatkanku tentang musibah 5 tahun lalu. Musibah yang telah mengembalikan sahabat terbaikku kepada yang maha kuasa. Sahabat yang benar-benar tak tergantikan. Tangisan kecilku ini pun tak akan mampu mengembalikan sahabat laluku itu. Hanya doa yang senantiasa menemani ibadahku kala aku mengingat kehadirannya dulu. Ya Allah.. Jagalah ia sebaik-baiknya…
5 tahun yang lalu…
Aku mulai menulis surat balasan untuk sahabat penaku, Kyra. Semenjak pertemuan aku dengannya di sebuah pantai, kita mulai menjalin persahabatan lewat surat. Waktu itu, aku menuju daerahnya untuk sekedar berlibur. Ya, rumahku dengannya memang cukup jauh untuk ditempuh.
Kyra adalah seorang gadis berumur 10 tahun. Tanggal lahirnya 12 Juli 2002. Ia seorang gadis yang ceria. Sudah 1 bulan kita bersahabat lewat surat. Terkadang, kita saling bertemu sesuai dengan waktu yang dijanjikan.
Kali ini, Kyra mengajakku untuk menginap di rumahnya. Ya, hari ini memang masih hari liburan kenaikan kelas. Dengan senang hati, aku menerima ajakannya itu. Rencananya, aku akan berangkat esok hari.
Esok hari, sesampainya di kediaman Kyra..
Aku mengucapkan salam dan menengok ke segala arah. Rumah Kyra sederhana, tetapi sangatlah terawat. Perabot-perabot rumah berjejer rapih. Walau rumahnya di bilang kecil, suasananya begitu nyaman. Ditambahi dengan sejuk nya angin laut yang berlalu-lalang melewati jendela rumah. Ibu Kyra menyambutku dengan ramah. Sedangkan ayah Kyra sedang dinas ke luar kota dan belum pulang.
“Rupanya, Vira sudah datang… Ayo kesini! Kyra sedang makan siang. Vira mau ikut?”, tanya ibu Kyra. “Tidak usah, tante.. Terima kasih.. Tadi saya sudah makan di rumah..”, balasku sopan. Setelah selesai makan, Kyra mendatanagiku dengan gembira. “Vira! Udah lama ya kita nggak ketemu… Gimana kalau kita berenang di laut? Mumpung sore-sore… Nggak panas jadinya..”, usul Kyra bersemangat. “Emm… Boleh juga. Aku ganti baju dulu, deh…”, kataku.
Setelah aku dan Kyra berganti baju, kita berlari-lari di atas pasir yang hangat. Laut biru terbentang tepat di depan wajahku. Sinar sore matahari membuat laut semakin berkilau-kilau yang membuatnya indah nian. Suara deburan ombak yang lembut memecah keheningan laut bagaikan menyapa setiap orang yang mendengarnya. Angin semilir pantai mulai menghembuskan dirinya untuk medorong siapapun yang menghalanginya.
Pantai Ariana ini memang termasuk pantai yang masih terjaga kebersihannya. Aku mulai mencelupkan tubuhku ke dalam dinginnya air laut. Begitu juga Vira. Kami pun bermain ciprat-cipratan air.
“Aduh, Kyra… Jangan cipratin air mulu, dong!”, protesku. “Haha.. Maaf, deh.. Abisnya, kamu juga cipratin aku mulu!”, balas Vira tak mau kalah. Ia kembali mencipratkanku kembali. “Ihh.. kamu tuh, ya! Aku gelitikin nih!”, ancamku sambil mengejar Kyra. Kyra pun berlari di dalam hempasan ombak laut sambil tertawa-tawa.
Sore ini begitu indah. Tak pernah aku rasakan kebahagiaan sesungguhnya bersama sahabat. Hanya kali ini, rasa bahagia itu muncul. Aku tak tau, sesungguhnya, akan terjadi kesedihan dibalik kebahagiaanku ini.
Setelah matahari mulai menenggelamkan diri di lautan, aku dan Kyra segera kembali ke rumah. “Ky, tadi seru banget yaa… Besok, pagi-pagi, kita main di laut lagi. Gimana?”, usulku. “Boleh… Boleh… Kalau gitu, bangunnya harus pagi, lho! Entar keburu siang. Oke?”, lanjut Kyra. “Oke, deh… Sekarang, mandi dulu, yuk…”.
Ketika adzan maghrib mulai terdengar, dengan sigap, Kyra mengajakku wudhu dan sholat. Tiba-tiba saja, rasa takut mulai muncul dalam sholatku. Rasa khawatir yang membuat sholatku itu tidak khusyuk. Aku tidak tahu bagaimana rasa itu bisa muncul. Aku berfikir, sepertinya akan ada sesuatu yang buruk terjadi.
Selesai sholat dan makan malam, Kyra mengajakku ke laut dan duduk-duduk di atas pasir sambil mengamati rembulan yang hangat. “Wah.. Sekarang bulan purnama ya… Indah banget! Kapan kita bisa begini lagi ya, Vir..”, ujar Kyra. “Iya ya… Lusa aku sudah pulang.. Padahal, rasanya ingin lebih banyak waktu lagi buat nginep disini..”, balasku sedih.
“Haha… Gak usah sedih gitu dong.. Kapan-kapan, kamu boleh main kesini lagi, kok! Kalau kamu sudah balik ke rumahmu, sering-sering liat bulan ya… Anggap saja itu aku. Selalu menerangimu dalam kegelapan. Dan menghangatkanmu dalam kedinginan. Dan insya Allah, aku juga akan sering memandang bulan kalau lagi inget kamu…”, kata Kyra sambil tersenyum.
Aku mulai menitikkan air mata mendengar kata-katanya. Begitu melekat dalam hati kecilku ini. “Lho? Kok malah nangis, sih? Maaf deh, kalau aku ada salah sama kamu. Sekarang balik aja yuk…”, ajak Kyra. “Kamu gak salah, kok…”. Aku tersenyum dan mengikuti Kyra menuju rumahnya.
Esok hari..
Hoamm… Aku terbangun dari tidurku yang lelap. Jam dinding menunjukkan angka 05.00. Lho? Tapi, Kyra kemana ya? Bukannya dia tidur disampingku? Tiba-tiba, pintu kamar berdecit pelan menandakan seseorang masuk. “Eh, Vira sudah bangun… Sholat subuh yuk!”, ajak Kyra bersemangat. Dengan segera, aku mengambil air wudhu dan meminjam mukena Kyra.
Deg. Rasa takut itu mulai muncul lagi dalam hatiku. Rasa itu makin menjadi-jadi dan membuatku semakin khawatir. Sebenarnya, rasa apa ini? Kenapa bisa muncul? Tiba-tiba, aku baru sadar bahwa aku mengkhawatirkan Kyra. Tapi, kenapa? Aku benar-benar tak mengerti. Dan, aku berusaha tak memedulikannya.
Setelah jam 06.00, yaitu saat matahari mulai terlihat dari timur, Kyra pun menagih usulanku. “Vir, jadi ke pantai kan?”, tanyanya. “Iya lah… Yuk, langsung aja, deh!”, balasku. Hemm… Angin pantai menghembuskan kerudung merahku. Pagi-pagi pun, ombak sudah ceria menenggelamkan pasir-pasir dalam hembusannya. Di pinggir pantai, Para nelayan bersiap-siap mencari ikan di tengah lautan biru.
Pagi ini, cuaca mendukung keindahan laut. Cuaca memberi keadaan cerah berhiasi awan-awan putih yang mengitari langit. Matahari bersinar terang menghangatkan suasana pantai yang dingin. Ohh… Indahnya..
Dengan tak sabar, aku melawan arus ombak dan memasukinya lebih dalam sampai air laut itu setinggi pundakku. “Wow! Airnya seger bener! Brrr…”, teriakku. “Haha… Vira! Kita main pasir yuk..”, ajak Kyra bersemangat. Aku pun mengiyakan ajakannya.
Aku mulai membuat apa saja yang bisa kubuat dengan pasir. Mulai dari gunug, benteng, dan lain- lain. Tak lupa, canda tawa terus menghiasi hatiku dan Kyra. Sampai akhirnya, gruduk.. Gruduk… Tanah mulai bergetar tak menentu. Gundukan pasir yang kami buat hancur dan kembali menyatu dengan pasir lainnya. Kepalaku mulai terasa pusing. GEMPA! Semua orang berlarian kesana kemari.
Ombak laut bergetar-getar. Aku memeluk Kyra ketakutan. Kami saling berpelukan dan tak tau apa yang akan terjadi. Gempa itu terus menggoyangkan tanah. Aku dan Kyra benar-benar ingin pingsan. Dimana-mana, perabotan rumah mulai pecah dan terdengar sampai ke lautan.
Akhirnya, gempa itu berhenti perlahan. Aku dan Kyra langsung merebahkan diri di Pasir. Betapa pusingnya gempa tadi. “Vir, aku pusing banget, nih… Takut…”, kata Kyra yang hampir menangis. “I… Iya.. Aku juga takut. Ky.. Kita ke rumah m.. mu aja ya…”, ujarku. Sambil berlari menuju rumah Kyra, aku berfikir. ‘Ya Allah, apakah yang aku takutkan selama ini dalam sholat adalah bencana? Bencana gempa atau mungkin lebih parah lagi… Tolonglah aku dan sahabatku, ya Allah…’.
Setelah sampai, Kyra langsung memeluk ibunya sambil menangis. Tak tau kenapa, aku merasakan akan terjadi hal yang lebih parah setelah ini. Beberapa perabotan rumah Kyra hancur dan pecah akibat gempa tadi. Tiba-tiba, pandanganku terhenti melihat air laut yang makin surut. Dengan segera, aku tau apa yang akan terjadi.
“Kyra! Tante! Cepat pergi dari sini… Sebentar lagi, tsunami akan TERJADI!”, teriakku panik. Dengan cepat, aku, Kyra beserta ibunya, berlari ketakutan. ‘Ya Allah.. Selamatkan aku dan sahabatku ya Allah… Ampuni segala dosaku, dan juga dosa sahabatku serta ibunya ya Allah.. Astagfirullah… Astagfirullah..’. Aku terus berdzikir sambil berlari menjauhi laut.
Seketika, aku menengokkan kepalaku ke arah belakang. Ombak besar sudah siap menghantam siapapun. Aku merasa lemah saat ini. Hanya dzikir yang terus memenuhi hati kecilku. Kakiku mulai mempercepat langkah. Tapi, secepat apapun kakiku berlari, tetap masih kalah melawan cepatnya arus ombak.
Terlambat. Air laut mulai menenggelamkan tubuhku. Beberapa kali aku terbawa arus deras ombak dan membentur segala macam benda. Badanku memar-memar tak berdaya. Hanya hati yang kini bisa beristighfar. Hanya hati yang kini mengingatkanku pada semua dosa yang pernah kulakukan. Ini adalah cobaan terberat yang pernah kurasakan. Cobaan yang kembali mengingatkanku pada semua keingkaranku pada Allah. Aku berusaha mencari cara untuk menuju ke atas.
Tapi, sudah terlambat. Tubuhku mulai lemas setelah terbentur terus menerus. Hidungku terasa sangat sakit karena terlalu banyak air yang masuk. Nafasku benar-benar sesak. Paru-paruku seakan lemas karena tak ada oksigen yang membuatnya bertahan.
Aku tidak tahan lagi dan akhirnya, tubuhku tergulai lemas mengikuti arah arus tsunami. Arus tsunami yang terus membawa ku ke tempat yang dihendakinya tanpa aku tahu dimana. Ya Allah… Inikah cobaan yang pantas untukku?
Setelah semua normal kembali…
Aku mulai membuka mata kecilku yang lebam terbentur banyak benda. Owh… Tubuhku masih terasa sangat sakit. Kulihat sekeliling ruangan. Ternyata, aku berada di rumah sakit. Tak terasa, air mataku mulai menitik mengingat bencana tsunami yang membuatku lemah seperti ini. Tapi, aku tetaplah bersyukur karena aku masih bisa bertahan hidup walau tubuhku sudah mengalami luka parah.
Oh.. Aku teringat Kyra. Bagaimana keadaannya sekarang? Kembali, mataku meneteskan air mata mengkhawatirkannya. Tiba-tiba, aku melihat Kyra tepat di samping kasurku.
Ia terlihat begitu lemah dan tak berdaya. Matanya tertutup. Wajahnya bengkak dan terluka sangat parah dibandingkan diriku. Nafasnya seakan melemah dalam pandanganku. Ia koma. Ya, ia berada di antara hidup dan mati. ‘Ya Allah, sebegitu besarkah cobaan yang kau berikan kepadaku dan sahabat terbaikku? Aku rela mengorbakan nyawaku hanya untuknya.. Aku benar-benar tak kuasa melihatnya begitu menderita..’ fikirku sambil menangis.
Tiba-tiba, datang dokter perempuan menghampiriku. Ia memeriksa ku dan tersenyum. Katanya, keadaanku sudah lebih membaik daripada tadi. Walaupun tubuhku masih sangat tak berdaya. Tiba-tiba, datang 2 orang remaja laki-laki berseragam sama dan menghampiri sang dokter. “Dokter… Kami menemukan 1 korban lagi. Wanita berkerudung oranye, berbaju hijau, dan memakai rok ungu. Tapi, nyawanya sudah tak bisa di tolong…”, seru salah satu dari mereka berdua. “Baikah.. Kubur dia dan doakanlah..”, balas dokter tersebut.
Aku tertegun mendengar ciri-ciri dari wanita yang disebutkan tadi. Sesaat, aku terbelalak kaget. I.. Itu kan ciri-ciri dari ibu Kyra. Aku mulai melemas membayangkan Kyra kehilangan ibu kandungnya sendiri.
Kini, aku mendapatkan perawatan yang sangat baik. Tak lama, luka-lukaku mulai kering tanda akan sembuh. Kondisiku pun juga sudah normal. Terlebih kedua orangtuaku datang menjengukku setiap 2 kali dalam seminggu. Tetapi, apa yang kurasakan tidak sama apa yang Kyra rasakan. Ia masih dalam keadaan koma. Rasanya, ingin sekali diriku menjadinya agar aku saja yang tersakiti dan bukan ia.
Luka-luka Kyra pun tak kunjung sembuh malah semakin menjadi-jadi. Ia juga belum terbangun dari komanya selama 1 bulan ini. Dan, kini aku sudah sembuh. Aku sudah bisa berjalan, berlari, dan yang lainnya. Tak lupa, aku selalu sholat dan mendoakan Kyra dengan sepenuh hati. Jiwa ragaku semakin melemah ketika dokter berkata bahwa Kyra mengidap kanker paru-paru setelah kejadian tsunami itu terjadi.
Ya Allah… Bisakah kau berikan kesempatan satu kali lagi pada sahabat terbaikku? Kesempatan hidup baginya untuk membayar dulu semua dosa yang pernah ia lakukan pada-Mu. Aku rela jika harus menggantikan nyawanya…
Aku juga baru dengar, kalau ternyata ayah Kyra tertabrak bis dan meninggal dunia meninggalkan Kyra sendirian. Aku turut beduka mendengarnya. Sekarang, aku duduk di samping kasur Kyra dan menggengam tangannya. Sambil menitikkan air mata, aku berkata, “Kyra… Jangan pernah lupakan aku jika ternyata kamu sudah kembali pada Allah. Kamu akan selalu ada dalam hatiku dimanapun kamu berada. Ta.. Tapi… Aku benar-benar tak ingin ditinggalkan kamu… Hiks…”, tangisku lirih.
Tiba-tiba, keajaiban terjadi. Tangan Kyra bergerak. Dan matanya pun terbuka! “Vi…Vira.. A..ku.. Di.. Dimana?”, tanyanya lirih. “Kyra! Kamu di rumah sakit sekarang akibat tsunami yang lalu.. Kyra.. Bagaimana keadaanmu? Aku senang kamu sudah bangun”, balasku sambil tersenyum. “Oh.. Vira, tubuhku sa..sakit sekali.. tak bi..bisa digerakkan..”, ujar Kyra sambil menangis menahan perihnya luka-luka yang menggerogoti tubuhnya.
“I.. Iya, Kyra.. Aku tau, pasti sakit sekali.. Tapi.. Apakah kamu akan meninggalkanku sendirian? Jangan pergi Kyra…”, kataku sambil menangis tersedu-sedu. “Ja… Jangan menangis… Ambillah pita merah di tangan kiriku..”, perintah Kyra. Aku langsung mengambil pita merah yang berada di genggaman tangan kirinya. Pita itu sudah lusuh, namun tidak ada sobekan sama sekali.
“Ja… jaga pita itu ketika aku pergi nanti.. Pi.. pita itu mem.. mempunyai kenangan yang sangat berharga bagiku… Se.. Sekarang aku ingin kamu menjaganya dengan baik… Karena, a.. aku.. merasa hidupku tak a.. akan lama la..gi..”, ujarnya.
Aku kembali menangis. Tapi, kini aku sudah merelakan kepergiannya jika itu memang takdir dari tuhan. Ya, aku tidak boleh sedih.. Walaupun rasanya memang berat jika Kyra benar-benar pergi dari muka bumi ini. Tiba-tiba, Kyra mengerang kesakitan. “DO.. DOKTER!”, panggilku cepat. Tapi, sudah terlambat. “Se.. sela..mat ting…gal, Vi.. Vira..”. Ucap Kyra. Ia pun menutup matanya dan menghembuskan nafas terakhirnya.
Dokter datang dengan sigap. “Ada apa dik?”,tanyanya padaku. Tapi, aku tak bisa menjawab karena tak kuasa menahan tangisku yang berderu. Dokter itu langsung mengetahui apa yang terjadi setelah melihat keadaan Kyra.
“Sudahlah, dik… Relakan saja kepergian sahabatmu.. Kamu lebih memilih dia tenang bersama Allah, atau melihat dia terus kesakitan? Sahabatmu itu akan selalu mengenangmu begitupun juga dirimu… Ini hanya cobaan dari Allah untukmu. Berusahalah untuk selalu tersenyum agar sahabatmu itu tidak akan mengkhawatirkanmu di atas sana… Nah, berhentilah menangis..”, nasehat dokter itu.
Aku berusaha menghentikan tangisku dan merelakan kepergian Kyra. Aku bertekad untuk selalu menjaga pita merah pemberiannya. Ya, kenangan terakhir yang begitu indah bagiku. Ya Allah.. Buatlah ia bahagia di atas sana..
Kini, aku tak kuasa untuk menahan tangisan. Kejadian 5 tahun yang lalu memang membuatku sempat murung dalam seminggu. Tapi, aku teringat bahwa aku harus selalu senyum agar Kyra ikut tersenyum di atas sana. Ya, dan aku akan melakukan janjiku padanya.
Tiba-tiba, aku teringat satu hal. Dengan segera, Aku membuka jendela kamarku dan membiarkan sinar hangat rembulan masuk. Kedua tanganku melipat di pinggiran jendela. Mataku tertuju pada rembulan purnama yang indah itu. Ya, seperti Kyra yang selalu menghangatkan dan menerangi hati kecilku.
Walaupun Kyra sudah tiada, aku tetap merasakan bahwa ia juga sedang menatap rembulan. Rembulan yang membuat diriku percaya bahwa Kyra tak akan pernah melupakanku. Kini, pita merah itu tetap terjaga dalam genggaman hangatku selamanya.
Cerpen Karangan: Anindya Talitha Hasna
Facebook: AnindyaTalitha Hasna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar