Powered By Blogger

Rabu, 03 Juli 2013

Kau yang sempurna



Kau yang sempurna
Pagi saat udara Bandung masih terasa dingin, aku sudah bersiap untuk pergi ke kampus. Hari ini adalah hari penentuan ku, Sidang kelulusan ku. Perasaan ku saat ini sangat bergejolak, ada sedikit perasaan tidak nyaman, tapi aku mencoba melupakannya
“Hari ini Aku harus sukses…” aku membatin dalam hati.
Aku pun berjalan keluar rumah kos ku, dan sebelum menutup pintu gerbang, aku pun menengok kembali ke arah rumah kos yang telah aku huni 4 tahun belakangan ini, sebuah rumah sederhana dengan pemilik kos yang ramah dan penuh pengertian saat aku telat membayar kos…
Ya aku, Arman, anak seorang supir pribadi di kota Serang Banten yang telah mengecewakan Abi dan Umi dengan tidak lolos masuk Perguruan Tinggi Negeri, yang karena kebaikan Bossnya Abi, Aku di biayai untuk melanjutkan pendidikan ku di sebuah Perguruan Tinggi Swasta di kota Paris Van Java.
TEETTT… hampir aku melompat mendengar suara klakson sebuah sepeda motor MIO yang hampir menabrak ku. Si pengemudi hanya tertawa renyah…
“Woy… pagi-pagi jangan ngelamun… pikirin tuh sidang…” teriaknya sambil tertawa
Tahu bahwa pengemudinya adalah Joan, gadis tomboy nan manis blasteran Jawa-jerman, anak pengusaha terkenal di jakarta, aku hanya dapat menyeringai.
“eh Joan… udah siap sidang…?” aku membalas teriakannya sambil mendekatinya.
“udah dong… nih… di dalam ransel…” jawabnya sambil tersenyum.
“Gile… penuh amat tuh ransel… mau langsung naik gunung lagi nih…” aku melirik Ransel besar di sadel belakang.
Joan mengangguk semangat, “yuk bareng ke kampus…” ajaknya “sekalian pegangin ransel gue ya…” lanjutnya sambil tersenyum lebar.
“udah tahu… kebiasaan loe…”
gerutu ku sambil duduk di belakang sambil memangku ransel raksasa nya. Senyum Joan berubah menjadi tertawa besar, dan motor pun melaju ke kampus tercinta.
Keakraban Joan dan Aku sudah berlangsung lama, sejak masa OSPEK, dimana kami berdua sama-sama dihukum oleh para senior “sadis” hanya karena tidak membawa uang 25 rupiah kecil yang naudzubilah nggak ngerti nyarinya dimana. Dan semenjak itu kami menjadi akrab bahkan kami selalu bersama dalam pengisian KRS, memilih mata kuliah dan kelas yang sama, hanya dalam pemilihan kegiatan kemahasiswaan kita berbeda…
Sebetulnya rekan-rekan banyak yang bingung bagaimana bisa aku dan Joan bisa bersahabatan, ibaratnya seperti Langit dan Bumi. Karakter kami berbeda jauh.
Aku, Arman, lebih tipe anak manis, nongkrong di Perpustakaan, membaca novel, koran atau apapun yang bisa di baca :) mungkin bisa dibilang aku tipe mahasiswa kupu-kupu alias kuliah pulang-kuliah pulang.
Berorganisasipun aku lebih mencari yang tenang seperti kelompok diskusi, Team Catur yah pokoknya yang nggak aneh-aneh.
Sedangkan Joan, jauh bertolak belakang, si gadis tomboy ini lebih ekspresif, senang tantangan bahkan organisasi nya pun dia ikut pencinta alam dan sangat aktif pula.
Tapi entah kenapa, kita bisa berteman dan bahkan bersahabat, mungkin justru karena perbedaan itu maka kita jadi saling mengisi… entahlah…
Mungkin karena perbedaan karakter yang sangat jelas itu tidak ada satu temanpun menganggap kita pacaran dan memang kita tidak pacaran.
Sebenarnya pernah terbesit di hati ku untuk menyatakan cinta ke Joan… tapi melihat perbedaan status sosial yang sangat-sangat berjarak, aku membuang jauh-jauh perasaan itu, toh belum tentu juga Joan akan menerimaku dan malah nanti merusak persahabatan yang telah ada, jadi… lupain aja deh…
Kami bercanda Sepanjang perjalanan menuju kampus dan sepertinya Joan sangat-sangat ceria hari ini.
Akhirnya kita tiba di kampus, suasana masih lumayan sepi, di tempat parkir motor baru ada beberapa motor mahasiswa dan karyawan.
“eh Joan… loe sidang jam ke berapa…?’ tanyaku sambil membuka helm.
“hhmm, jam berapa ya…? Wah lupa tuh…” jawab Joan enteng
Aku langsung menatapnya tajam sambil melotot. “masa sih jadwal penting begitu dilupakan…” pikirku.
“hehehe… becanda Man, jam 10.00 di ruang 211, dosen penguji nya pak Denny sama Bu Julia… puas… tenang Arman sayang, gue hapal kok… hehehe…” katanya sambil menonjok pelan pundak ku.
Wuih… lega juga ternyata dia tidak main-main seperti selama ini, pernah dia datang ke kampus langsung dari gunung Gede tanpa bawa apapun dan parahnya terus dia nanya “Man, sekarang ada kuliah apa ya…?” kan parah banget tuh…
“kalau loe Man?” tanyanya balik.
“gue duluan pertama jam 9.00 di ruang Audio visual…” jawab ku sambil melihat ke dalam tas ku, melihat persiapan presentasi skripsi ku lengkap atau tidak.
“Arman… nanti tungguin Joan ya, jangan pulang duluan…” Joan berkata hampir berbisik di dekat ku.
Kaget juga mendengar gaya bicaranya berubah drastis dari biasanya pakai loe-gue… Tapi itulah Joan pikir ku berubah-rubah sesukanya dia..
Aku mengangguk sambil mengangkat kepala dan menatap nya, ternyata Joan sedang menatap tajam kepada ku dengan mimik muka serius.
“ok deh Joan, gue duluan ya, nyiapin LCD nya dulu…, nanti gue tunggu di kantin…” aku melangkah meninggalkan nya menuju gedung perkuliahan.
Joan menangkap lenganku, seperti melarang ku untuk meninggalkannya, tapi kemudian segera melepasnya kembali “Sukses ya Man… doain gue juga ya…”
Aku melambaikan tangan sambil berlari kecil, aku terlalu sibuk dengan urusan sidang ini jadi tidak terlalu mengambil hati kejadian tadi.
—-
Es kelapa muda pesanan ku akhir datang juga, presentasi sidang skripsi ku cukup lumayan alot.
Prof. Juwana dan Doktor Ilham bener-bener menekanku sampai habis, untung Dosen pembimbing ku berbaik hati untuk tidak ikut menekan ku.
Saat ini selesai tugas ku… perfecto tanpa revisi, tidak percuma aku bekerja keras menyusun bab per bab skripsi ku sejak 6 bulan yang lalu.
Jam 11.15 aku melirik jam tangan ku, Joan belum kelihatan juga…
“apa kabar nya dia…” pikirku.
“apa memang sidangnya lama, atau dia lupa janjian dengan aku dan selesai sidang langsung ke “markas” MAPALA ya…?”
Sambil menyeruput es kelapa mudaku, aku mencoba menghubungi Joan, terbesit sedikit ke khawatiran dia masih dalam ruang sidang dan akan mengganggu dia dan akhirnya ngambek, wah… kalau dia ngambek cape nenanginnya…
Kuangkat HP ku dan terdengar suara wanita …
“maaf pulsa anda tidak mencukupi untuk melakukan panggilan…” cielah udah tekor to pulsa ku…
Akhirnya aku memutuskan untuk menunggunya di kantin sedikit lebih lama… toh aku juga akan tetap di kampus menunggu pengumuman resmi hasil sidang jam 15.00 sore ini.
Akhirnya dari kejauhan terlihat juga sosok tinggi semampai proporsionalnya nya Joan lengkap dengan ransel raksasanya… rupanya belum ke Markas MAPALA dia.
Aku melambaikan tangan memanggilnya dan Joan begitu melihat aku langsung berlari ke arah ku. Ngeri juga melihat dia lari sempoyongan dengan beban besar dipunggungnya. Aku berdiri dan siap berlari jika saja tiba-tiba Joan terjatuh…
Alhamdulillah, Joan selamat sampai ke meja ku. Tanpa ba bi bu dia langsung meminum es kelapa muda ku hingga tandas… ya Tuhan padahal aku aja pelan-pelan minumnya…
Setelah meletakkan Ransel raksasanya di kursi sebelah dia duduk berhadapan dengan ku, dan tersenyum lebar sambil menatap ku…
Aku kembali duduk dan memandang dia dan gelas es kelapa mudaku secara bergantian tanda protesku atas tindakan nya meminum habis tanpa permisi…
Senyumnya langsung berubah menjadi tertawa besar… “Sorry Man… cape nih…” alasannya pada ku…
“iya nggak pha-pha, tapi ya minta izin dulu dong, langsung tandas lagi…” gerutuku bercanda.
“bagaimana tadi sidangnya, sukses kan…”
lanjutku sambil memanggil kembali penjual es kelapa muda.
“pesen 2 lagi ya mang…” teriakku sambil mengacungkan 2 jari ku, si mamang es kelapa muda mengangguk mengerti.
“iya… tadi itu bu Julia yang rada rese, nyerocos terus, sampe pak Denny mau nanya nggak jadi mulu, dendam kali dia ama gue ya…?” kicau Joan menceritakan kejadian di dalam ruang sidang.
“la iya lah, inget nggak mata kuliah bu Julia khan yang loe dapet F, sampai akhirnya loe mesti ngambil semester pendek..?” jawab ku.
“oh iya… hehehe… lupa gue Man…” Joan menyeringai lebar.
“iya gara-gara mesti bantuin loe belajar, gue batal pulang kampung…” lanjutku
“hehehe… sorry Man, thanks ya my love…” Joan menjawab sambil tertawa lebar…
Si mamang es kelapa muda datang dan meletakan 2 gelas es kelapa muda yang langsung diambil oleh Joan.
Akhirnya kita berdua terdiam, aku asyik mengaduk-aduk minuman ku sambil mengamati putaran kelapa muda berputar-putar aku aduk-aduk.
Dari sudut mataku kulihat Joan terus menatap ku tajam dan dengan muka sendu.
Aku mengangkat kepala ku dan ikut menatapnya…
“Kenapa Joan… beres kan tadi sidangnya…?” aku menatap Joan khawatir.
Joan hanya tersenyum.
Tiba-tiba Bobby sang ketua MAPALA, muncul ..
“Joan… ayo anak-anak udah siap, kita ngejar Sunrise nih di Gede…”
Aku melihat Joan, sepertinya bahasa tubuh Joan menunjukan rasa tidak nyaman di tegur seperti itu oleh Bobby.
“ya udah duluan deh, gue masih ngobrol nih sama Arman…” jawab Joan yang terdengar sedikit ketus
“oke, gue tunggu di markas ya… sorry ya Man… jangan lama-lama ya Joan, anak-anak udah nggak sabar nih…” Bobby menjawab sambil berjalan keluar kantin.
“udah mau jalan…? Ya udah jalan gih, nanti di musuhin anak-anak MAPALA lho…” kata ku menanggapi Bobby.
“Arman… menurut loe, gue pergi nggak ya…?” tanya Joan dengan muka sendu…
“Habis ini kan kita udah susah ketemu…” lanjutnya lagi
“ya… terserah loe lah… apa hak gue ngelarang loe pergi, pacar juga bukan apalagi suami hehehe…” jawabku sambil terkekeh-kekeh…
“oh gitu ya, jadi menurut loe gue pergi aja nih…?”
sepertinya Joan tidak puas dengan jawabanku yang di nilai nya tidak serius.
“lho khan udah siap tuh…”
aku menjawab sambil memberikan isyarat dengan daguku ke arah ransel raksasanya.
Joan melirik Ranselnya.
“JOAN… JOAN … ayooo, kita kejar Sunrise nih…” tedengar suara riuh anak–anak Mapala dari atas Truk.
Joan melihat ke arah mereka, dan kembali menatapku tajam.
“bagaimana Arman… Joan pergi nggak ya…?” suaranya terdengar lirih
“ya udah jalan sana… nanti gue liatin hasil loe deh… have fun ya…” aku tersenyum kepada nya
Joan berdiri dan mengangkat ranselnya, dia tersenyum manis kepada ku, dan melangkah meninggalkan ku…
“sebetulnya aku ingin kamu nggak pergi Joan…” aku membatin dalam hati melihat Joan berjalan keluar mendatangi truk yang mengangkut para mahasiswa MAPALA yang siap mengantarkan mereka ke Gunung Gede.
—-
Malam harinya di tempat kos ku, aku sibuk membaca koran, mencari lowongan kerja, bandung terasa lebih dingin dari biasanya, hujan menyiram kota kembang cukup lumayan besar membuat malas untuk bergerak dari tempat ku duduk.
TOK.. TOK.. TOK.. tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu, reflek aku melihat jam dinding waktu menunjukan pukul 10 malam. Ku melihat ruangan sekelilingku, tidak ada orang rupanya semua sudah pada tidut…
“siapa sih malam-malam gini bertamu…?” aku sedikit menggerutu karena harus meninggalkan tempat duduk ku
“mana udah PW banget lagi…a hh…” aku berjalan ke arah pintu dan membuka pintu.
Di balik pintu aku melihat Joan, berdiri dengan tubuh basah, aku langsung mengambil lengannya dan mengajak nya masuk
“Man di teras aja, Joan nggak lama-lama masih ditungguin temen-temen…” Joan menolak masuk dan berjalan ke tempat duduk di teras.
“ya udah, gue ambil handuk sama Teh Manis panas… biar loe nggak masuk angin…” aku langsung masuk ke dalam. Sekilas ku lihat tadinya Joan mau melarangku tapi aku sudah masuk ke dalam.
Dengan cepat aku keluar dengan membawa handuk dan the manis panas dan meletakkannya di meja.
“Arman… bagaimana nilai sidang Joan…?” tanyanya saat aku menghempaskan badan ke kursi di depannya.
“sip sist…, dapet B+ loe, by the way kok bisa nongol disini, malem-malem lagi…?” jawabku sambil mencoba mencari tahu.
“sist…” terdengar desis halus keluar dari mulut Joan. mukanya pucat, mungkin karena udara dingin Gunung Gede di tambah kehujanan di Bandung ini.
“eh nggak pha-pha kok, Joan Cuma mau kasih liat surat ini ke Arman…” katanya sambil memperlihatkan sebuah amplop berwarna biru. Aku melihatnya dengan penuh tanda tanya…
“surat apaan nih… aku ambil sekarang ya…”
“jangan…!!!, jangan sekarang…!!!” tangannya Joan jangan menyentuh tangan ku untuk melarangku mengambil surat itu.
“besok ya Arman Sayang, jam 2 siang…” Joan tersenyum, walaupun dalam keadaan pucat senyum tetap manis.
“lho… kenapa mesti jam 2 siang Joan…?” aku bingung atas syarat nya itu.
“Arman-Arman, pokoknya nanti jam 2 siang aja suratnya ya… janji…” Joan sekali tersenyum manis
“iya deh, di tunggu loh jam 2 siang…” jawab ku sambil menunjukan raut muka cemberut seperti anak kecil.
“nah begitu dong sayang…” Joan tersenyum lebar…
“Man… Joan langsung balik ya… anak-anak masih nunggu Joan di Gede…” Joan berkata sambil berdiri dan mulai berjalan ke tepi teras.
“HAH… malem-malem begini balik ke Gede… besok aja lah?” aku hampir berteriak
Joan hanya tersenyum dan berbalik lari keluar di bawah guyuran hujan yang semakin besar
“Hati-hati ya Joan…” aku hanya dapat bergumam menatap punggung Joan yang tak lama kemudian hilang di kegelapan malam…
Aku masuk dan mengunci pintu ku lihat jam dinding menunjukan pukul 11.30 malam.
Tiba-tiba aku menjadi sangat mengantuk, aku memutuskan untuk masuk kamar dan menarik selimut dan tiba-tiba teringat .. “oh iya handuk sama gelas masih di luar… ah sudah lah besok pagi saja aku beresin…”
Dan tidak lama kemudian aku terlelap tidur…
DOK.. DOK.. DOK… kamarku di gedor orang aku terbangun kaget.
“SIAPA…!!!” teriakku dari atas tempat tidur.
“Dono… ada yang nyari loe di luar…” terdengar sahutan dari luar.
Aku keluar kamar dan kulihat Dono berdiri di depan pintu
“Noh.. ada tamu di depan…” katanya sambil menunjuk ke pintu depan.
Di depan aku melihat Bobby dan Andy anak-anak MAPALA, mereka berdiri di teras sambil mengobrol. Terlihat raut muka lelah… sangat kelelahan…
“Hai Bro… ada apa nih…” tanyaku sambil mengajak duduk di kursi teras, kulihat handuk dan teh manis yang semalam aku buat untuk Joan, rupanya Joan tidak meminum sedikitpun dan handuknya pun masih kering.
“Man… tabah ya Man… Joan kecelakaan…” Andi merangkul ku.
“HAH… kapan… sekarang Joan dimana?” ini pasti waktu dia malam-malam balik ke Gede pikir ku.
“semalem jam delapanan… dia masih di atas” lanjut Bobby sambil tertunduk.
Aku terhenyak ke tempat duduk. Andi bersimpuh di samping kursiku
“nggak mungkin… jangan becanda loe nggak lucu tau..!!!”
“semalem jam 10 an Joan mampir kesini, tuh bekas minum nya masih ada…” kataku keras merasa dipermainkan anak-anak MAPALA di depan ku.
Bobby dan Andy saling bertatapan bingung mendengar omongan ku
“tapi bener Man, jam 8 an kita nggak becanda… jasadnya masih di atas, anak-anak yang lain lagi evakuasi ke bawah…” Bobby mencoba menjelaskan…
“jasad… jadi Joan…” aku terpekik mendengar kata kata Bobby…
“iya Man, Joan nggak sempet tertolong… maaf, ini salah gue…” tutur Andi sambil menangis
Aku sudah tidak dapat berkata-kata, pandangan ku kosong … Joan… Joan sudah…
“jadi, waktu itu di pos 2 Joan sudah bilang kita balik aja karena kabut mulai turun, tapi Andi memaksa terus bahkan mengejek Joan pengecut, anak-anak yang lain mendukung Andi dengan harapan dapat melihat sunrise di puncak gede” Bobby mencoba menjelaskan kejadiannya.
Aku tetap terdiam, kulihat Andi semakin menunduk menahan tangisnya
“terus Man, di tengah perjalanan, entah kenapa, ada pohon besar di samping yang tiba-tiba roboh hampir kena Andi tapi rupanya andi di dorong oleh Joan… tapi jadi nya pohonnya nimpa Joan…”
Lanjut Bobby sambil melihat Andi.
“Man gue nyesel, gue salah… ampunin gue man…” Andi tersenguk-senguk terpekur di lantai.
Aku hanya bisa menepuk nepuk pundak Andi yang duduk terpekur menunduk di samping kursi ku… aku tetap diam…
“Joan… meninggal di tempat…?” tanya ku lirih lebih mirip mendesis
“nggak Man, kita berhasil evakuasi dia kembali ke Pos 2, kita berharap bisa langsung turun, tapi kondisi Joan sangat parah, dia… luka dalam…”
“di pos 2 dia sempet minta amplop terus nggak tahu dia kaya ngerobek Buku Hariannya ya Ndi..?, terus dia minta untuk diserahin ke loe Man setelah itu … Joan…
makanya kita disini, buat menjalankan amanat terakhir Joan…” Bobby terus mencoba menceritakan kejadian di Gunung gede.
“jam berapa Joan…?”
aku melirik tajam Bobby…
“sekitar jam 10 an Man, gue ngenes banget Man… Joan tersenyum, dia seperti tidur…” terlihat bayang-bayang air mata mulai nampak di mata Bobby…
Jam 10… Joan hadir di depan ku…
“oh ya Man, sebelum lupa… ini amplop yang Joan minta disampaiin ke loe…” Bobby menyerahkan sebuah Amplop… AMPLOP BIRU persis seperti yang akan diserahkan Joan malam itu.
Secara reflek aku melihat jam tangan ku… pukul 2 siang…
Persis seperti permintaan Joan tepat pukul 2 siang…
“Man, gue sama Andi balik dulu ya kita balik ke Gede, bantu evakuasi Joan…” Bobby berdiri dan mendekati Andi dan memapahnya jalan keluar.
Aku hanya terdiam tidak menjawab, sambil memegang amplop biru pesan terakhir Joan untuk ku…
—-
Siang itu, di sebuah kompleks pemakaman mewah di daerah cikarang, ketika semua orang sudah mulai kembali ke area istirahat, aku masih terpekur di depan sebuah nisan.
JUANITA SCHMIDT
tertulis nama di nisan itu, sebuah nama yang selama 4 tahun terakhir mengisi hari-hari ku.
Aku mengambil sebuah amplop biru dari kantong ku dan membacanya. Entah semenjak kejadian itu sudah berapa kali aku membacanya.
Isi amplop itu berisi sobekan dairy Joan, yang paling terakhir dia tulis…
“Bandung,
Hari terakhir Joan sibuk kuliah… hari ini sidang… woow, Joan akhirnya jadi sarjana Boo… bebas merdeka…
Tapi kok, ada perasaan sedih ya… oh iya… Joan mesti pisah dengan Arman…
Hmm… Arman… Joan sebenernya pengen jadi pacar kamu lho… Joan sudah jatuh hati sama kamu semenjak OSPEK dulu, tapi kok kamu nggak pernah bilang sih ke Joan…
Pa mungkin Joan nggak sempurna buat Arman ya…?
Ya udah, pokoknya hari ini… selesai sidang… Joan mau ngomong sama Arman bahwa… Joan Sayang ama Arman dan Joan cinta Arman…
Kwkwkw.. nggak kebayang muka nya Arman deh..
Yah lupa… udah janji sama anak-anak MAPALA selesai sidang mau naik Gede… bodo ah… pokoknya Joan harus ngomong sama Arman titik.
Ya kok Arman gitu ya… Joan pengen deh di larang pergi naek Gede… Joan pengen kita rayain keberhasilan sidang kita berdua… Dinner gitu loh…
Ah ya udah, nanti turun gede Joan mau langsung culik Arman, ajak ke lembang kita Dinner di sana… sip.. deh…”
Aku terpekur dalam membaca surat itu tak terasa air mata ku jatuh dan aku pun berbisik di atas pusara…
“Joan… kau begitu sempurna di mata ku… aku mencintai mu…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar